Mengapa kita tak pantas lagi bilang “suka sama suka” – Versi 2.0

Suka sama suka … dari sudut pandang siapa?
Budaya patriarki tetaplah bercokol kuat dimana pun, tak hanya di Indonesia kukira. Topik “suka sama suka” ini sedang mengemuka akhir-akhir ini setelah kasus asusila yang dilakukan oleh seorang penyair ternama kepada seorang mahasiswi. Banyak yang tanpa empati menuduh sang korban — seperti banyak terjadi di kasus perkosaan yang lain — menawarkan diri hanya karena dialah yang datang ke kediaman sang penyair.

Tulisan Aquino Hayunta ini sangat mewakili suara sang korban. I love it. 🙂

GG 12.56 06122013

Kemarin, Hari Ini dan Esok

Kekerasan seksual pada bentuknya yang tradisional mungkin tidak ditemukan dalam kasus-kasus tertentu. Jangan bayangkan seseorang yang menunggu di tikungan jalan lantas menyergap perempuan yang sedang lewat lalu memperkosanya, atau maling yang masuk ke rumah sasarannya dan memperkosa karyawan rumah tangga yang sedang seorang diri menunggu rumah.

Saya sedang mengkhayalkan skenario seperti berikut:

Kekerasan itu mungkin berawal dari sebuah café di sebuah tempat kebudayaan dimana seorang laki-laki menatap seorang perempuan dan memutuskan dalam hati bahwa ia akan meniduri perempuan tersebut. Laki-laki tersebut punya perjalanan karir cukup panjang dalam bidang sastra dan sudah menghasilkan beberapa karya sastra. Lantas kesempatan itu datang dan si perempuan ini ternyata seorang mahasiswa yang menaruh minat terhadap sastra (mungkin pernah menerbitkan buku kumpulan puisinya secara indie) dan si laki-laki menawarkan berdiskusi tentang sastra secara lebih personal di kamar kost-nya.

“Ayo kita belajar baca puisi di kamar kost saya, kalau di tempat ini kita tidak bisa teriak-teriak” kata…

Lihat pos aslinya 394 kata lagi